Dr. Cipto Mangunkusumo lahir pada 1886 di Pacangakan, daerah Ambarawa. Ia menamatkan sekolahnya di Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta, dan mulai mengabdikan dirinya bertugas sebagai seorang dokter pemerintah.sebagai seorang dokter, ia sangat dekat dengan rakyat biasa.
Keadaan masyarakat yang miskin dan penyakit menular di mana-mana membuat hatinya sangat tersentuh. Pada tahun 1910 ia berhasil membasmi wabah pes yang menyebar di Malang, karena itu pemerintah Belanda menganugerahkannya Bintang Orde Van Oranye Nassau (bintang kepahlawanan Belanda). Ketika bertugas di Demak, ia banyak menuliskan artikel-artikel yang menceritakan tentang penderitaan yang dialami rakyat akibat penjajahan Belanda. Artikel-artikelnya dimuat dalam harian De Express dan surat kabar lainnya. Akibat artikel-artikelnya tersebut, ia membuat Belanda menjadi geram dan mengancam akan memberhentikannya sebagai dokter pemerintah jika terus menulis di surat kabar.
dr. Cipto Mangunkusumo tidak gentar dengan ancaman kehilangan karirnya sebagai dokter pemerintah, ia terus menulis di surat kabar hingga ia diberhentikan. Ia juga mengembalikan bintang jasa kepada pemerintah Belanda karena tidak diberi izin tugas memberantas wabah pes yang juga menyebar di Solo waktu itu.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai dokter pemerintah, dr. Cipto Mangunkusumo terus meningkatkan aktivitas politiknya untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Ia bersama rekannya E.F.E. Douwes Dekker dan R.M. Suardi Suryaningrat ikut mendirikan partai politik Indische Partij (IP, Partai Hindia) pada tahun 1912. Indische Partij merupakan partai politik pertama yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Pada tanggal 13 Maret 1913 dr. Cipto Mangunkusumo bersama rekannya menghadap Gubernur Jendral Belanda untuk mendapatkan pengesahan Indische Partij sebagai partai politik. Akan tetapi permintaan itu ditolak dan IP dilarang melakukan kegiatan politiknya dalam masyarakat. Penolakan tersebut berakibat dari kegiatan politik mereka dalam komite Bumiputera, dimana Komite ini dibentuk dengan tujuan sebagai protes kepada kepada pemerintah Belanda yang akan merayakan 100 tahun kebebasan Belanda dari penjajahan Francis. Selain itu, dr. Cipto Mangunkusumo bersama rekannya di Tiga Serangkai diasingkan ke negeri Belanda. Di sana kegiatan politiknya tidak padam begitu saja, ia bekerja sebagai redaktur De Indier yang bercorak politik radikal.
Belum genap setahun di Belanda, dr. Cipto Mangunkusumo kembali dipulangkan ke Indonesia dikarenakan serangan penyakit asma. Sekembalinya ke tanah air, semangat perjuangannya tidak mudah pudar begitu saja. Ia meneruskan kegiatan politiknya dalam Volksraad di Solo, memperjuangkan rakyat dan mengkritik pemerintah Belanda. Akibat dari itu ia kemudian diperintahkan pemerintah belanda meninggalkan Solo. dr. Cipto Mangunkusumo kemudian pindah ke Bandung sebagai tahanan kota. Di sini kegitan politiknya juga terus berlanjut, rumahnya menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Ir. Sukarno.
Melihat kegiatan politiknya yang terus meninggkat, pada tahun 1927 dr. Cipto Mangunkusumo kembali dibuang pemerintah Belanda ke Banda Neira. Setelah tiga belas tahun di sana, ia dipindahkan ke Ujung Pandang dan dari sana ia dipindahkan ke Suka Bumi dan terakhir ke Jakarta.
Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan seorang dokter pejuang yang tidak pernah patah semangat dalam memperjuangkan kebebasan bangsanya dari penjajah dan membela rakyat. Tahun 1943 tepat pada tanggal 8 Maret, karena kondisi kesehatannya yang semakin menurun ia akhirnya meninggal dunia di Jakarta dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.