wahid hasyim

K.H. Abdul Wahid Hasym lahir pada tanggal 1 Juni 1914, di Jombang, jawa Timur. Ia dibesarkan dalam lingkungan pesantren, ia merupakan putera dari K.H. Hasym Asy’ari, pemilik pesantren di Tebu Ireng. Dari kecil ia sudah belajar ilmu agama di pesantren ayahnya, selain itu ia juga pernah belajar di pesantren-pesantren lain, Ia juga membantu ayahnya mengajar di pesantren Tebu Ireng. Untuk pendidikan ilmu pengetahuan umum seperti membaca dan menulis huruf latin didapatkannya sendiri secara otodidak, oleh sebab itu ia banyak mendapatkan pengetahuan umum selain pengetahuan agama dari buku-buku latin yang dibacanya.

Di pesantren Tebu Ireng, ia bersama ayahnya K.H. Hasym Asy’ari mengajarkan pengetahuan umum selain pengetahuan agama, dimana di sana para santri diharuskan untuk mempelajari huruf latin dan juga membaca buku-buku tentang pengetahuan umum selain buku agama. Dari itu banyak dari orang tua santri di sana mengancam akan menarik anak-anak mereka yang dititipkan di pesantren itu.  Pemerintah Belanda juga melarang hal tersebut dilakukan, belanda hanya mengizinkan pesantren tersebut mengajarkan ilmu agama. Ia mendirikan madrasah modern, Nidhomiah. Pada madrasah ini, para santri diajarkan pidato, berorganisasi dan diharuskan membaca bacaan-bacaan latin yang memuat pengetahua umum.

Pada tahun 1936, Ikatan Pelejar Pelajar Indonesia (IPPI), dua tahun setelah itu pada tahun 1938, ia bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai juru tulis ranting NU di desa Cukir. Empat tahun setelah itu, ia diangkat sebagai Ketua Pengurus Besar NU.  Pada masa pendudukan Jepang, NU dilarang. Organisasi islam yang diizinkan berdiri hanyalah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Ia kemudian diangkat menjadi ketua, kemudian MIAI juga dilarang. Akhirnya bersama K.H. Mas Mansyur, dan K.H. Taufiqurrahman mendirikan Majelis Syuri Muslimin Indonesia (Masyumi).

K.H. Abdul Wahid Hasym juga merupakan salah seorang anggota Paniti Sembilan dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pada awal pemerintahan pemeritahan RI, ia di angkat menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial. Sesudah pengakuan kedaulatan RI ia ditunjuk sebagai menteri agama sebanyak tiga kali, yakni dalam Kabinet RIS, Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman Suwiryo. Pada tanggal 19 April 1953, dalam sebuah kecelakaan mobil di Cimahi, ia meninggal dunia dan dimakamkan di perkuburan keluarga di Tebu ireng.