Pangeran Diponegoro atau yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Nopember 1785, ia adalah anak dari Sultan Hamengku Buwono III. Sekitar tahun 1820-an Belanda mulai mencampuri urusan dalam Kerajaan Yogyakarta sehingga menimbulkan permasaalahan dalam kerajaan. Belanda membuat taktik adu domba, sehingga orang-orang dalam kerajaan terbelah menjadi dua ada yang mendukung dan juga anti terhadap Belanda. Belanda juga membuat peraturan-peraturan yang merendahkan martabat raja-raja Jawa.
Tahun 1822 Sultan Hamengku Buwono IV yang merupakan pemimpin Yogyakarta pada masa itu wafat secara mendadak. Adalah pangeran Menom yang merupakan putera Sultan Hamengku Buwono IV yang masih berumur tiga tahun atas persetujuuan Belanda diangkat menjadi Raja Yogyakarta pengganti Sultan Hamengku Buwono IV pada masa itu. Karena umurnya yang masih sangat kecil, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi sultan muda menjalankan pemerintahan, sedang untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari dipimpin oleh Patih Danureja yang merupakan seorang yang pro Belanda. Dewan perwalian tersebut terdiri dari permaisuri Sultan Hamengku Buwono III, Ibu Sultan (pemaisuri Sultan Hamengku Buwono IV), pangeran Mangku Bumi (putra Sultan Hamengku Buwono) dan Pangeran Diponegoro (putra Sultan Hamengku Buwono III).
Sedikit demi sedikit dewan perwalian tersebut mulai disingkirkan akibat politik adu domba Belanda. melihat kondisi itu, Pangeran Diponegoro mulai menunjukkan ketidaksenangannya terhadap Belanda karena telah mengadu domba kerajaan, sehingga ia memilih tinggal di luar istana di Tegalrejo. Kekecewaan pun muncul ditengah-tengah masyarakat, sejak pemerintahan dikendalikan oleh raja yang Pro Belanda. Tekanan pajak semakin meningkat dan banyak tanah-tanah kerajaan diambil untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda menuduh Pangeran Diponegoro melakukan pemberontakan dan mulai menyerang Tegalrejo sehingga dimulailah perang yang disebut perang Diponegoro. Awal kisah perang tersebut berawal ketika Belanda memasang patok di tanah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro akhirnya marah dan menentang Belanda. Sikap Pangeran Diponegoro menentang Belanda mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat. Belanda menyerang Tegalrejo, Pangeran Diponegoro kemudian membuat markas disebuah goa yang bernama goa Selarong, dan menyatakan perang terhadap Belanda. Pangeran Diponegoro terus melakukan serangan dengan para pengikutnya secara bergerilya sehingga membuat Belanda kewalahan.
Dukungan terhadap perjuangan Diponegoro semakin meluas mulai dari rakyat petani, ulama dan juga para pangeran yang menggabungkan diri untuk menyatakan ikut kedalam Perang Sabil (perang melawan kafir) Belanda. Belanda mulai melakukan berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro yang pada masa itu menjadi pemicu semangat perjuangan rakyat. Karena serangan pasukan pejuang yang semakin sengit, pada tahun 1827 Belanda mengunakan taktik “Benteng stesel”, dimana Belanda membangun benteng-benteng di daerah-daerah yang berhasil dikuasai. Pembangunan benteng-benteng ini membuat pelemahan terhadap perlawanan pada Belanda oleh pasukan pejuang Diponegoro. Selain itu beberapa tokoh berhasil dibujuk untuk menghentikan perlawanannya.
Sejak tahun 1892 kekuatan pasukan pejuang Diponegoro semakin berkurang, tetapi masih ada perlawanan. Pihak Belanda kemudian mengumumkan hadiah sebesar 50.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati, tetapi usaha itu tidak pernah berhasil, karena dukungan rakyat yang sangat besar kepadanya.
Karena tidak dapat menghentikan perlawanan Diponegoro, Belanda akhirnya menggunakan taktik untuk mengajak Pangeran Diponegoro berunding pada tanggal 28 Maret 1830. Pangeran Diponegoro diundang ke Magelang. Belanda menjanjikan jika perundingan gagal Diponegoro boleh kembali ketempatnya dengan aman. Namun, ketika perundingan itu berlangsung, Belanda menggunakan cara liciknya dengan menangkap Diponegoro dan mengasingkannya ke Manado kemudian ke Ujung Pandang. Di tempat pengasingan terakhirnya itu ia meninggal dunia di benteng Rotterdam pada tanggal 8 januari 1855 dan dimakamkan di sana. Pada perang Diponegoro ini Belanda mendapatkan banyak kerugian, diantaranya tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.