nyi ageng

Nyi Ageng Serang yang memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiyah Retno Edhi, lahir di Serang, dekat Purwodadi Jawa Tengah pada tahun 1752. Ia adalah anak Pangeran Natapraja yang diangkat menjadi Bupati Serang. Pangeran Natapraja pernah mendampingi Pangeran Mangkubumi Mataram menjadi salah satu panglima perang ketika melawan penjajah Belanda, tetapi perang berakhir ketika Pangeran Mangkubumi menandatangani perjanjian Gianti pada tahun 1755.  Pangeran Mangkubumi kemudian dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta dan bergelar Hamengkubuwono I. Namun, Pangeran Natapraja tidak menyenangi perjanjian itu , ia tetap menjaga dan memelihara pasukannya. Belanda yang mengetahui kemudian menyerang Pangeran Natapraja dan pasukannya di Serang, ketika itu Nyi Ageng Serang yang sudah dewasa ikut berperang dan memimpin pasukan dalam setiap pertempuran bersama ayahnya. Dalam pertempuran itu, mereka berhasil dikalahkan Belanda karena tidak seimbang dengan jumlah pasukan Belanda yang cukup besar dan persenjataan yang lengkap. Nyi Ageng berhasil ditangkap dan dibawa ke Yogyakarta dan kemudian ia dikembalikan lagi ke Serang.

Pada masa meletusnya perang Diponegoro, Nyi Ageng sudah berumur 73 tahun. Ia yang dari dulu memang tidak menyukai kehadiran Belanda, kemudian menggabungkan diri kedalam pasukan pejuang Diponegoro bersama cucunya Raden Mas Papak. Meskipun ia seorang wanita tua, akan tetapi ia adalah seorang ahli dalam strategi perang, ia memiliki banyak pengalaman masa muda ketika bersama-sama dengan ayahnya memimpin pasukan melawan Belanda. Ketika bergabung dengan pasukan Diponegoro ia kemudian diangkat sebagai penasehat. Ia memberikan nasihat-nasihat yang selalu didengar oleh pangeran Diponegoro.

Ia bersama pasukan terlibat pertempuran-pertempuran di Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Juana dan Rembang. Ia pernah pula diberi perintah oleh Diponegoro untuk mempertahankan daerah Prambanan. Nyi Ageng Serang pernah menganjurkan kepada pasukan Diponegoro untuk menggunakan daun Keladi hijau sebagai penutup kepala. Taktik itu digunakan untuk mengelabui musuh dari jarak jauh, karena musuh akan mengira itu adalah tanaman, tetapi ketika mendekati musuh mereka akan segera menyerang.

Ketika mengikuti perang Diponegoro Nyi Ageng Serang sudah memiliki umur yang tua dan fisik yang lemah. Oleh sebab itu dalam setiap pertempuran ia ditandu oleh pasukannya dan memberikan perintah dari atas tandu tersebut. Ketika sudah terlalu tua, ia kemudian memutuskan untuk berhenti dari medan tempur dan menetap di rumah Netaprajan di Yogyakarta. kemudian pada tahun 1828 ia meninggal dunia.