Merasa dan Fakta
Banyak orang yang “merasa”
pinter padahal tidak. Hasilnya? Ia malas belajar. Dalam jangka panjang orang
semacam ini akan tertinggal. Bila ia bekerja, karirnya akan disusul oleh
anak-anak muda yang punya semangat bertumbuh. Bila ia pebisnis maka
bisnisnya stagnan dan bisa berujung pada kebangkrutan.
Banyak juga orang yang
“merasa” kaya padahal belum. Orang-orang seperti ini terlihat keren padahal
kere. Penampilannya perlente dan klimis padahal sesungguhnya miskin.
Ingin tampil dan terlihat seperti konglomerat padahal sejatinya melarat.
Hidupnya dibangun di atas pondasi hutang yang semakin hari semakin membesar.
Ada pula orang yang “merasa”
soleh padahal banyak berbuat salah. Orang-orang semacam ini biasanya merasa
suci padahal hatinya dipenuhi penyakit hati. Mereka merasa dirinyalah yang
paling benar dan orang lain penuh dengan kekeliruan. Terkadang mereka merasa
hanya dirinya dan orang yang sependapat dengannya yang pantas masuk surga,
orang lain neraka.
“Merasa” itu berbahaya. Tidak
percaya? Simaklah kisah berikut.
Ada seorang suami yang
“merasa” dirinya sangat sempurna. Ia “merasa” sudah bisa memberi semua hal
untuk anak dan istrinya, padahal itu hanya perasaannya saja. Faktanya, anak dan
istrinya hidupnya sengsara dan terabaikan.
Suatu saat sang suami yang
“merasa” sudah menjadi suami teladan mendatangi istrinya. Ia bermaksud menikah
lagi dengan gadis pujaannya. Dengan tutur kata yang indah ia merayu istrinya,
“Wahai istriku, aku ini ibarat matahari, terlalu sayang bila sinarnya hanya
menyinari kau seorang. Bagaimana kalau sinar ini aku bagi dengan wanita lain?”
Mendengar rayuan suaminya,
istrinya yang cerdas langsung menjawab, “Aku tahu dan setuju suamiku, bila saja
kau itu matahari. Tetapi sayang, kau ini lilin kecil yang menerangi rumah saja
tidak terang. Jadi, bagaimana mungkin kau bisa menerangi tempat lain.”
He he he…